
Perbincangan hangat mengenai sumber air minum dalam kemasan (AMDK) merek Aqua, yang ramai setelah kunjungan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) ke salah satu pabriknya di Subang, kini mulai menemui titik terang melalui penjelasan ilmiah dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). KDM menyatakan keheranannya saat mengetahui bahwa air yang diolah di pabrik tersebut diambil melalui metode pengeboran dari dalam tanah, bukan langsung dari mata air permukaan seperti yang kerap digambarkan dalam iklan. Hal ini memicu beragam reaksi dari warganet, yang merasa citra "air pegunungan yang murni dan alami" yang dibangun selama puluhan tahun tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
PT Tirta Investama, produsen Aqua, segera memberikan klarifikasi, menjelaskan bahwa sumber air mereka berasal dari 19 sumber air pegunungan yang terlindungi di seluruh Indonesia. Perusahaan menegaskan bahwa air baku diambil dari akuifer dalam, yaitu lapisan air tanah alami yang terbentuk di sistem hidrogeologi pegunungan, bukan dari sumur bor dangkal biasa. Akuifer ini secara alami terlindungi oleh lapisan kedap air, sehingga bebas dari kontaminasi aktivitas manusia dan tidak mengganggu ketersediaan air masyarakat sekitar. Proses penentuan titik sumber air Aqua telah melalui seleksi ketat dengan sembilan kriteria ilmiah, lima tahapan evaluasi, serta minimal satu tahun penelitian oleh tim ahli.
Menanggapi polemik ini, peneliti hidrologi dari Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air BRIN, Rachmat Fajar Lubis, memberikan penjelasan komprehensif. Fajar Lubis mengemukakan bahwa sumber air di alam terbagi menjadi tiga kategori: air hujan, air permukaan, dan air tanah. Ia menjelaskan bahwa air tanah merupakan sumber utama bagi banyak perusahaan AMDK, termasuk Aqua. Air tanah sendiri dibagi menjadi air tanah bebas (dangkal) dan air tanah tertekan atau akuifer dalam. Akuifer dalam, yang diambil melalui pengeboran dengan kedalaman bervariasi antara 60 hingga 140 meter, memiliki tekanan lebih tinggi dari permukaan tanah dan terlindungi oleh lapisan kedap air di atasnya, membuatnya tidak mudah terpengaruh oleh musim atau aktivitas di permukaan.
Fajar Lubis menegaskan bahwa penggunaan istilah "air pegunungan" dalam iklan AMDK masih relevan secara geologi, karena perusahaan menargetkan air dari daerah gunung api yang batuan vulkaniknya secara alami kaya akan kandungan mineral yang baik. Menurutnya, perubahan metode pengambilan air dari mata air langsung ke air tanah dalam berkaitan dengan kebutuhan higienis dan keamanan kualitas air, karena mata air permukaan justru lebih rentan terhadap kontaminasi dari aktivitas manusia dan vegetasi di sekitarnya.
Lebih lanjut, BRIN memastikan bahwa pengambilan air tanah oleh perusahaan AMDK diatur ketat melalui mekanisme ilmiah dan regulasi pemerintah. Setiap perusahaan wajib memiliki izin resmi, membayar pajak air tanah, dan memantau posisi serta elevasi tanah setiap tahun untuk mencegah potensi amblesan atau longsor. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq sebelumnya juga pernah mengungkapkan bahwa sebagian besar produk AMDK di Indonesia berasal dari air tanah, dan masyarakat diimbau untuk tidak mudah terpedaya dengan label "air pegunungan" pada kemasan.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI) dan Komisi VI DPR RI berencana memanggil manajemen Aqua untuk klarifikasi lebih lanjut demi menjaga kepercayaan publik. Sementara itu, KDM juga telah mengklarifikasi bahwa ia tidak bermaksud menjatuhkan Aqua, dan mengakui bahwa sumber air di pabrik yang ia kunjungi memang berasal dari mata air pegunungan, meski diambil dengan metode pengeboran. Namun, seorang peneliti BRIN lainnya, Dr. Destika Cahyana, menyarankan agar Aqua mempertimbangkan untuk menyesuaikan narasi pemasarannya menjadi "dari akuifer dalam air pegunungan" agar lebih transparan dan tidak menimbulkan kesalahpahaman publik.