Notification

×

Iklan

Iklan

Prioritas Bergeser: Mengapa Gen Z Indonesia Tak Peduli Nilai Jual Kembali Kendaraan?

2025-11-15 | 14:55 WIB | 0 Dibaca Last Updated 2025-11-15T07:55:21Z
Ruang Iklan

Prioritas Bergeser: Mengapa Gen Z Indonesia Tak Peduli Nilai Jual Kembali Kendaraan?

Pergeseran paradigma dalam perilaku pembelian kendaraan di Indonesia semakin kentara, terutama di kalangan generasi muda. Jika sebelumnya nilai jual kembali (resale value) menjadi salah satu faktor penentu krusial bagi konsumen Indonesia, kini anak muda menunjukkan kecenderungan yang berbeda, dengan tidak lagi menjadikannya prioritas utama saat memutuskan membeli kendaraan. Fenomena ini didorong oleh beberapa faktor fundamental yang mencerminkan perubahan gaya hidup, prioritas, dan pemanfaatan teknologi oleh generasi milenial dan Gen Z.

Para pengamat otomotif menyoroti bahwa generasi muda saat ini cenderung lebih memfokuskan perhatian pada pengalaman ketimbang nilai aset. Bagi mereka, kendaraan bukan sekadar instrumen investasi jangka panjang, melainkan sebuah sarana untuk menunjang mobilitas, mengekspresikan diri, serta memenuhi kebutuhan fungsional sehari-hari. Daya tarik utama mobil bagi anak muda terletak pada fitur-fitur teknologi canggih, desain yang menarik, dan performa yang memuaskan. Mereka mencari mobil yang efisien dan mendukung mobilitas, dengan mempertimbangkan fitur, keamanan, tampilan, serta efisiensi bahan bakar.

Selain itu, meningkatnya kesadaran akan isu lingkungan turut memengaruhi keputusan. Mobil listrik (EV) dan hibrida, meskipun nilai jual kembalinya belum stabil dibandingkan mobil konvensional, semakin diminati karena menawarkan emisi yang lebih rendah dan ramah lingkungan. Subsidi pemerintah untuk kendaraan listrik juga mendorong adopsi di kalangan generasi muda. Generasi Z secara khusus menunjukkan minat pada kendaraan listrik, yang didukung oleh kebijakan pemerintah.

Perubahan pola pikir tentang kepemilikan juga menjadi faktor penting. Generasi muda cenderung lebih fleksibel dan terbuka terhadap opsi seperti leasing atau berlangganan mobil. Model kepemilikan semacam ini memungkinkan mereka untuk tidak lagi pusing memikirkan depresiasi harga atau biaya perawatan jangka panjang. Mereka juga sangat mempertimbangkan skema cicilan yang sesuai dengan kemampuan finansial, dengan cicilan idealnya tidak lebih dari 30 persen pendapatan bersih bulanan.

Konsumen muda, khususnya Gen Z yang merupakan _digital native_, juga sangat bergantung pada platform digital untuk mencari informasi dan menentukan pilihan pembelian. Mereka mencari koneksi kesamaan antara merek otomotif dengan karakter mereka, serta menganggap kendaraan pribadi sebagai "ruang ketiga" yang mengakomodasi kebutuhan dan keinginan. Hal ini berbeda dengan konsumen di atas 40 tahun yang masih menganggap stabilitas harga jual kembali sebagai faktor penting, menganggap mobil sebagai aset yang nilainya harus tetap terjaga. Bahkan, sebagian besar konsumen Indonesia masih sangat "money conscious" dan mempertimbangkan nilai kembalian finansial saat menjual mobil.

Tren di pasar otomotif juga menunjukkan dominasi mobil Low Cost Green Car (LCGC) seperti Daihatsu Ayla dan Toyota Agya di kalangan anak muda, berkat harga terjangkau dan efisiensi bahan bakar. Survei internal Daihatsu bahkan menunjukkan peningkatan pembeli Ayla dari kalangan usia di bawah 35 tahun, baik sebagai mobil kedua maupun pengganti, bukan hanya sebagai mobil pertama. Sementara itu, generasi milenial juga menciptakan tren baru di pasar mobil bekas, di mana 64 persen penjualan mobil bekas melibatkan pelanggan milenial yang mencari kendaraan "worth the money", terutama jenis MPV dan SUV dengan anggaran terbatas. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun ada penurunan penjualan mobil baru secara keseluruhan di Indonesia akibat daya beli dan kenaikan pajak, minat terhadap mobil bekas justru tumbuh signifikan di kalangan generasi muda.