
Kacang-kacangan lokal telah lama menjadi tulang punggung kedaulatan pangan masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT), memainkan peran krusial sebagai sumber protein nabati dan penopang ketahanan pangan, terutama di tengah kondisi iklim kering dan tantangan gizi. Daerah ini merupakan "surga kacang" dengan kekayaan jenis yang melimpah, mulai dari kacang tanah, kacang hijau, hingga kacang merah yang beragam, termasuk varietas unik seperti kacang merah Ende, Paleo, dan Flores Timur, serta kacang batik yang memiliki cita rasa manis alami.
Penelitian menunjukkan bahwa NTT memiliki setidaknya 29 jenis kacang-kacangan, dan rata-rata jenis kacang lokal di sini memiliki kandungan protein antara 2,93 hingga 39,24 persen, menjadikannya komponen nutrisi tertinggi setelah karbohidrat. Beberapa varietas, seperti arbila biji besar, tercatat memiliki karbohidrat mencapai 76,16 persen, sementara arbila biji loreng mengandung lemak 1,85 persen. Nutrisi tinggi ini sangat penting bagi masyarakat yang menghadapi risiko krisis pangan dan gizi buruk, terutama di wilayah seperti Manggarai Barat yang juga kaya akan kacang-kacangan lokal seperti Lusa, Kundung, Hocu Leba, Jumbang, Selok, Sela, dan Longa.
Secara turun-temurun, masyarakat NTT membudidayakan kacang-kacangan di lahan kering, seringkali dengan sistem tumpang sari bersama jagung atau sorgum. Kacang-kacangan ini diolah menjadi berbagai hidangan lokal, seperti bubur jagung bose yang disajikan dengan sedikit garam, menonjolkan rasa asli kacang tanpa banyak bumbu. Menariknya, masyarakat juga memiliki pengetahuan tradisional untuk meramu dan mengolah kacang-kacangan liar, bahkan yang beracun seperti arbila beracun (kot laso) dan kacang bengo, untuk dikonsumsi saat kelaparan, sebuah warisan berharga yang mendukung ketahanan pangan. Maria Loretha, seorang petani sorgum dan pangan lokal dari Flores Timur, menekankan pentingnya kacang-kacangan sebagai elemen kunci pangan lokal di NTT, dengan adanya ritual makan kacang di Pulau Lembata yang menunjukkan fungsi vital kacang dalam tradisi lokal.
Meskipun potensi besar, budidaya kacang lokal di NTT menghadapi sejumlah tantangan, termasuk perhatian yang minim terhadap komoditas ini, metode budidaya yang masih tradisional, penggunaan benih bermutu rendah, minimnya penggunaan input produksi, serta kurangnya penguasaan teknologi. Permasalahan pemasaran juga kerap muncul, seperti sistem ijon yang menyebabkan harga di tingkat petani rendah.
Namun, berbagai upaya tengah digalakkan untuk mengatasi tantangan ini dan mengoptimalkan potensi kacang lokal. Pemerintah Provinsi NTT mendorong kolaborasi lintas sektor antara pemerintah daerah dan TNI/Polri untuk mengelola lahan tidur, menargetkan penambahan lahan produktif hingga 50.000 hektare pada tahun 2026, dengan fokus pada komoditas yang sesuai potensi wilayah, termasuk kacang-kacangan. Badan Pangan Nasional (NFA) juga telah memulai implementasi Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal di NTT, menekankan identifikasi dan pemetaan potensi pangan lokal oleh pemerintah daerah.
Sejumlah inisiatif lain juga menunjukkan hasil positif. Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), bekerja sama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Timor (Unimor), berhasil mengangkat potensi varietas unggul lokal kacang merah Eban melalui penelitian hingga panen simbolis. Bahkan, kacang tanah jenis lurik organik yang dikembangkan oleh petani di Kecamatan Insana Fafinesu, TTU, telah berhasil menembus pasar Eropa sejak tahun 2014, dengan potensi panen 80 hingga 90 ton per tahun dan keunggulan bebas aflatoksin. Universitas Nusa Cendana (Undana) melalui Program Kemitraan Masyarakat (PKM) juga aktif mensosialisasikan budidaya kacang bintang di Kabupaten Kupang, memperkenalkan varietas yang belum banyak dikenal di NTT. Perkumpulan Pikul, organisasi nirlaba, sejak 2013 juga telah mengkaji pangan lokal bergizi di NTT dan mendorong konsumsinya sebagai sajian utama rumah tangga untuk mengatasi masalah gizi.
Dengan potensi lahan kering yang luas, sekitar 1,5 juta hektare, dan pasar yang tinggi, peluang pengembangan kacang-kacangan di NTT sangat cerah. Dukungan finansial dan teknis bagi petani, promosi produk lokal, serta peningkatan kesadaran masyarakat akan manfaat kesehatan dan lingkungan dari kacang-kacangan menjadi kunci untuk menjadikan komoditas ini unggulan, mendukung ketahanan pangan, dan keberlanjutan lingkungan di masa depan.