
Meskipun publik secara luas menganggap Lisa, anggota grup idola K-Pop BLACKPINK, sebagai ikon yang efektif dalam mempromosikan pariwisata Thailand berkat pengaruh globalnya dan keputusannya yang seringkali menampilkan elemen budaya Thailand, terdapat polemik hukum dan kebijakan yang sedang hangat diperdebatkan di media. Polemik ini mencuat setelah pihak berwenang Thailand, khususnya Kementerian Pariwisata dan Olahraga atau Otoritas Pariwisata Thailand (TAT), mengklarifikasi bahwa tidak ada penunjukan resmi maupun kontrak pembayaran yang diberikan kepada Lisa untuk peran sebagai duta pariwisata.
Klarifikasi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai strategi promosi negara dan pemanfaatan soft power selebriti. Banyak pihak mengkritik pemerintah yang dianggap lalai atau gagal memanfaatkan peluang emas untuk berkolaborasi secara formal dengan Lisa, yang notabene adalah warga negara Thailand yang memiliki daya tarik global luar biasa. Kritikus berpendapat bahwa pemerintah seharusnya proaktif dalam mengamankan kesepakatan resmi untuk memanfaatkan pengaruh Lisa secara maksimal dan terstruktur, alih-alih hanya "menikmati" promosi gratis yang bersifat insidental.
Debat juga berkembang seputar etika dan hak kekayaan intelektual, mempertanyakan apakah promosi tidak langsung yang dilakukan Lisa tanpa kompensasi resmi, namun direspons positif oleh industri pariwisata Thailand, merupakan bentuk eksploitasi atau sekadar kontribusi sukarela. Situasi ini mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan ulang kerangka kerja hukum dan kebijakan mereka terkait penunjukan duta atau promotor budaya dan pariwisata, terutama di era digital di mana pengaruh individu dapat melampaui kampanye resmi yang dibiayai negara. Masyarakat dan pakar hukum menuntut kejelasan lebih lanjut serta kebijakan yang transparan dan adaptif untuk memanfaatkan aset budaya dan selebriti Thailand di kancah internasional.