
Penemuan mikroplastik di hewan laut dalam Indonesia menjadi sorotan utama dalam isu lingkungan saat ini, menguak fakta bahwa pencemaran plastik telah merambah ke kedalaman laut yang sebelumnya dianggap terisolasi dari aktivitas manusia. Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Institut Oseanologi Chinese Academy of Sciences (IOCAS) mengungkapkan bahwa hampir sepertiga dari teritip laut dalam yang hidup di jalur Arus Lintas Indonesia (Indonesian Throughflow/ITF) telah terkontaminasi mikroplastik.
Tim peneliti, yang dipimpin oleh Muhammad Reza Cordova dari Pusat Riset Oseanografi (PRO) BRIN, mengambil sampel dari dua pelampung tambat (mooring buoy) yang dipasang pada kedalaman sekitar 200 meter di Laut Maluku utara dan Laut Filipina barat daya. Lokasi ini merupakan bagian integral dari ITF, jalur arus laut vital yang menghubungkan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Dari 103 sampel teritip laut dalam yang dianalisis, hasilnya sangat mengejutkan: 27% individu teritip ditemukan mengandung mikroplastik. Teritip, sebagai organisme penyaring makanan (filter feeder), menjadi bioindikator yang sangat baik untuk mendeteksi polusi di kolom air, dan temuan ini membuktikan bahwa tidak ada lagi bagian laut yang sepenuhnya bebas dari polusi plastik, bahkan di kedalaman ratusan meter sekalipun.
Mikroplastik adalah partikel plastik berukuran kurang dari 5 milimeter yang berasal dari degradasi plastik yang lebih besar atau diproduksi dalam ukuran mikro. Keberadaan mikroplastik ini menimbulkan dampak serius bagi ekosistem laut. Mikroplastik dapat mengiritasi jaringan, mengganggu pencernaan, dan memengaruhi reproduksi organisme laut. Lebih jauh, partikel-partikel ini dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan, toksisitas organ, gangguan endokrin, penurunan berat badan, dan peradangan pada biota laut. Mikroplastik juga berpotensi membawa zat berbahaya seperti polutan organik persisten dan racun, yang dapat terakumulasi dalam tubuh ikan dan masuk ke dalam rantai makanan.
Dampak ini tidak hanya terbatas pada kehidupan laut. Karena kompleksitas rantai makanan laut, ikan predator yang mengonsumsi hewan-hewan kecil di laut dalam pada gilirannya bisa menjadi santapan manusia, yang berarti mikroplastik berpotensi kembali ke tubuh kita. Paparan mikroplastik pada manusia dikhawatirkan dapat menyebabkan gangguan kesehatan serius seperti kerusakan organ tubuh dalam jangka panjang, reaksi alergi, gangguan hormon, memicu kanker, gangguan metabolisme, dan memengaruhi perkembangan janin.
Sumber utama mikroplastik di laut adalah pengelolaan sampah yang buruk, terutama di daerah pesisir, dan alat tangkap ikan yang hilang atau sengaja ditinggalkan. Jaring nilon yang robek, misalnya, tidak terurai melainkan hancur menjadi mikroplastik yang mencemari laut selama puluhan tahun. Indonesia sendiri merupakan penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah China, dengan 3,2 juta ton sampah plastik tidak terkelola setiap tahunnya. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa mikroplastik ditemukan di perairan sub-permukaan di seluruh kepulauan Indonesia, bahkan di air hujan di 18 kota besar dan pesisir.
Menanggapi krisis ini, kolaborasi antara pemerintah, industri, komunitas nelayan, dan masyarakat umum sangat diperlukan. Indonesia telah memiliki komitmen melalui Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut, dengan target pengurangan sampah laut sebesar 70% pada tahun 2025. Inovasi teknologi juga menjadi harapan, seperti filter penyaring mikroplastik berbasis Bulk Acoustic Wave (BAW) yang dikembangkan oleh mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, serta penggunaan senyawa tumbuhan alami seperti tanin dan tanaman air seperti kangkung sebagai fitoremediator. Namun, pada akhirnya, perubahan perilaku masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan tetap menjadi kunci utama dalam melindungi lingkungan laut dan kesehatan manusia di masa depan.