
Dolar Amerika Serikat pagi ini menunjukkan penguatan terhadap Rupiah, dengan nilai tukar mencapai Rp 16.609. Berdasarkan data Bloomberg pada pukul 09.15 WIB di pasar spot exchange, Rupiah tercatat melemah tipis sebesar 3 poin atau 0,02% ke level Rp 16.605 per dolar AS, setelah pada perdagangan Jumat (24/10/2025) ditutup menguat di posisi Rp 16.602 per dolar AS. Pelemahan ini menempatkan Rupiah sebagai salah satu mata uang dengan kinerja terlemah di Asia pada pagi ini, bersamaan dengan Yen Jepang, sementara mayoritas mata uang Asia lainnya berhasil menguat terhadap dolar AS.
Pergerakan nilai tukar ini dipengaruhi oleh sejumlah sentimen global yang dinamis. Fokus pasar tertuju pada serangkaian agenda penting, termasuk pertemuan dagang global serta rapat bank sentral utama dunia. Presiden AS Donald Trump memulai kunjungan ke Asia pada Senin ini dan dijadwalkan bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi, dilanjutkan dengan pertemuan krusial bersama Presiden Tiongkok Xi Jinping pada Kamis (30/10/2025) di sela Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Korea Selatan. Pembicaraan antara kedua pemimpin negara adidaya tersebut diharapkan dapat memfinalisasi kerangka kesepakatan dagang yang telah dirancang, memicu optimisme di pasar terkait potensi meredanya perang dagang. Namun, analis juga mencatat kehati-hatian investor terhadap kemungkinan kegagalan kesepakatan, mengingat konfirmasi pertemuan lebih banyak disampaikan dari pihak AS.
Selain itu, pasar juga mengantisipasi keputusan Federal Open Market Committee (FOMC) dari Federal Reserve (The Fed) yang diperkirakan akan memangkas suku bunga acuannya pada pekan ini. Prospek pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi kisaran 4%-4,25% menguat setelah rilis data inflasi konsumen (CPI) AS untuk September menunjukkan kenaikan yang lebih moderat dari perkiraan, yaitu 3,0% secara tahunan dan 0,4% secara bulanan. Meski demikian, Mahjabeen Zaman, Head of FX Research ANZ, memperkirakan penguatan dolar akan tetap bertahan dalam jangka pendek, terutama jika The Fed menyampaikan komunikasi yang berhati-hati, mengingat pasar telah sepenuhnya memperhitungkan pemangkasan suku bunga pada Oktober dan Desember.
Dari sisi data ekonomi, PMI Manufaktur AS Global S&P naik menjadi 52,2 pada Oktober 2025, menandakan perbaikan kondisi sektor pabrik untuk kesembilan kalinya dalam sepuluh bulan terakhir. Ketegangan geopolitik juga turut memberikan tekanan, menyusul diberlakukannya larangan AS terhadap dua raksasa minyak Rusia, Rosneft PJSC dan Lukoil PJSC, yang memicu kenaikan harga minyak dunia. Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan memperingatkan bahwa pembalikan pelemahan dolar AS dan kenaikan imbal hasil obligasi dapat menguji ketahanan ekonomi negara-negara Asia dengan meningkatkan biaya utang.
Di dalam negeri, Bank Indonesia (BI) secara tak terduga mempertahankan suku bunga acuannya di level 4,75% pada Oktober 2025, berlawanan dengan ekspektasi penurunan suku bunga oleh pasar. BI juga melaporkan pertumbuhan uang beredar dalam arti luas (M2) yang lebih tinggi pada September 2025, mencapai 8,0% secara tahunan atau Rp 9.771,3 triliun. Namun, tercatat adanya arus keluar modal asing bersih sebesar Rp 940 miliar selama periode 20-23 Oktober 2025, yang mencerminkan sikap hati-hati investor terhadap aset-aset Indonesia.