Sebagai salah satu anggota Walisongo, Sunan Kalijaga dikenal luas karena strategi dakwahnya yang bijaksana dengan mengintegrasikan Islam ke dalam kebudayaan Jawa, salah satunya melalui tembang "Lir Ilir". Tembang ini diciptakan pada awal abad ke-16, bertepatan dengan masa keruntuhan Kerajaan Majapahit dan mulai masuknya Islam di kalangan adipati pesisir Pulau Jawa. "Lir Ilir" bukan sekadar lagu dolanan biasa, melainkan sarat akan pesan moral dan nilai-nilai religius, khususnya dalam dimensi tasawuf, yang hingga kini relevan bagi umat Islam.
Sunan Kalijaga, yang memiliki nama asli Raden Mas Said atau Raden Sahid, merupakan ulama, seniman, dan arsitek ulung yang diperkirakan hidup lebih dari 100 tahun, dari pertengahan abad ke-15 hingga akhir abad ke-16. Beliau menyebarkan agama Islam dengan pendekatan yang toleran terhadap budaya lokal, menggunakan media seperti wayang, gamelan, ukir, dan seni suara, termasuk tembang "Lir Ilir", agar mudah diterima masyarakat. Tembang ini menjadi salah satu warisan budaya yang memiliki makna mendalam, mendorong manusia untuk bangkit memperbaiki diri dan meningkatkan ketakwaan.
Berikut adalah lirik tembang "Lir Ilir" dan penjelasannya:
* "Lir ilir, lir ilir, tandure wis sumilir"
* (Bangunlah, bangunlah, tanaman sudah bersemi).
* Baris pertama ini adalah seruan untuk umat Islam agar bangkit dari keterpurukan dan kemalasan. "Tanaman sudah bersemi" melambangkan keimanan yang telah ditanamkan Allah dalam diri setiap manusia. Ini adalah ajakan untuk menyadari bahwa iman perlu dirawat dan ditumbuhkan agar tidak mati. Kesadaran akan waktu yang terus berganti juga menjadi bagian dari makna "bangun" ini.
* "Tak ijo royo-royo, tak senggo temanten anyar"
* (Demikian menghijau, bagaikan pengantin baru).
* Tanaman iman yang bersemi dan menghijau diibaratkan kebahagiaan seorang pengantin baru. Ini menggambarkan ganjaran kebahagiaan dan kesejahteraan, baik di dunia maupun akhirat, yang akan didapatkan jika seseorang tekun menumbuhkan keimanannya.
* "Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi"
* (Anak gembala, anak gembala, panjatlah belimbing itu).
* "Anak gembala" merujuk kepada manusia yang diberikan amanah oleh Allah untuk menggembalakan hati dari dorongan hawa nafsu. "Pohon belimbing" dengan lima sisi buahnya sering diinterpretasikan sebagai simbol lima rukun Islam. Makna tasawuf di sini adalah ajakan untuk sungguh-sungguh melaksanakan rukun Islam meskipun terasa sulit dan licin, melambangkan perjuangan melawan godaan dunia.
* "Lunyu-lunyu yo penekno, kanggo mbasuh dodotiro"
* (Walaupun licin dan susah, tetaplah kau panjat, untuk membasuh pakaianmu).
* Bagian ini menegaskan pentingnya kegigihan dalam menjalankan ajaran agama, meskipun banyak rintangan. "Pakaianmu" merujuk pada pakaian takwa, yaitu amal perbuatan baik yang dilakukan manusia. Ini adalah bekal untuk kembali kepada Allah, sehingga pakaian takwa harus dijaga kesuciannya.
* "Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir"
* (Pakaianmu, pakaianmu, terkoyak-koyak di bagian samping).
* Baris ini melambangkan keadaan iman dan amal perbuatan manusia yang mungkin sudah mulai rusak atau "terkoyak" karena kelalaian, dosa, dan maksiat. Ini merupakan pengingat akan kerapuhan amal jika tidak senantiasa diperbaiki.
* "Dondomono jlumatono, kanggo sebo mengko sore"
* (Jahitlah, benahilah, untuk menghadap nanti sore).
* "Jahitlah, benahilah" adalah ajakan untuk bertaubat, memperbaiki diri, dan memperbanyak amal saleh. "Menghadap nanti sore" dimaknai sebagai persiapan diri untuk menghadapi hari akhirat, di mana setiap manusia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Tuhan. Ini adalah seruan untuk mengembalikan kesucian akhlak sebagai bekal di akhirat.
* "Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane"
* (Mumpung bulan bersinar terang, mumpung banyak waktu luang).
* Bagian penutup ini mengingatkan manusia akan kesempatan yang diberikan Allah selama hidup di dunia. "Mumpung bulan bersinar terang" dan "mumpung banyak waktu luang" berarti memanfaatkan kesempatan hidup, kesehatan, dan waktu luang untuk beribadah dan beramal saleh sebelum terlambat. Ini adalah momen untuk introspeksi dan memperkuat keimanan.
* "Yo surako, surak iyo"
* (Ayo bersoraklah dengan sorakan iya).
* Seruan penutup ini menjadi simbol semangat dan optimisme untuk berjuang di jalan kebaikan, menghadapi segala rintangan dalam menjalankan ajaran Islam. Tembang "Lir Ilir" secara keseluruhan mengajarkan hakikat kehidupan, tanggung jawab, kedisiplinan, kerja keras, dan pantang menyerah, dengan tujuan akhir mencapai kebahagiaan sejati di sisi Allah SWT.