
Pulau Nusakambangan, yang dijuluki sebagai "Alcatraz Indonesia", terus menjadi sorotan publik dan media massa sebagai benteng terakhir sistem pemasyarakatan Tanah Air. Terletak di lepas pantai selatan Cilacap, Jawa Tengah, pulau ini telah lama berfungsi sebagai rumah bagi narapidana kelas kakap dan terpidana mati, memegang peran krusial dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia.
Sejarah Nusakambangan sebagai penjara dimulai pada era kolonial Belanda, sekitar abad ke-19. Pemerintah Hindia Belanda memanfaatkan letak geografisnya yang terpencil, dikelilingi oleh Samudra Hindia yang ganas dan selat sempit, menjadikannya lokasi ideal untuk mengisolasi tahanan politik dan penjahat berat. Konsep isolasi ini bertujuan untuk mencegah pelarian dan memutus komunikasi dengan dunia luar, sebuah prinsip yang masih dipertahankan hingga kini. Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia melanjutkan dan bahkan memperkuat fungsi Nusakambangan sebagai lembaga pemasyarakatan berkeamanan maksimum.
Saat ini, Nusakambangan menampung tujuh lembaga pemasyarakatan aktif, di antaranya Lapas Batu, Lapas Besi, Lapas Kembangkuning, Lapas Permisan, Lapas Narkotika, Lapas Pasir Putih, dan Lapas Karanganyar, masing-masing dengan karakteristik dan tingkat pengamanan yang berbeda. Para penghuninya adalah narapidana dengan kasus-kasus luar biasa, mulai dari terorisme, kejahatan narkoba berskala besar, korupsi kelas kakap, hingga pembunuhan berencana, serta mereka yang menanti eksekusi hukuman mati.
Fakta menarik lainnya adalah bahwa akses menuju pulau ini sangat dibatasi dan dijaga ketat. Hanya personel berwenang dan mereka yang memiliki izin khusus yang dapat menyeberang ke pulau ini melalui Dermaga Wijayapura di Cilacap. Hutan lebat dan medan yang sulit di dalam pulau menambah tingkat kesulitan bagi siapa pun yang mencoba melarikan diri, memperkuat reputasinya sebagai penjara yang tak tertembus. Nusakambangan bukan hanya sekadar tempat pemenjaraan, melainkan simbol ketegasan negara dalam menghadapi kejahatan berat, sebuah monumen bisu bagi mereka yang telah melanggar hukum secara serius, sekaligus pengingat akan beratnya konsekuensi atas perbuatan kriminal. Perannya dalam pelaksanaan eksekusi hukuman mati juga kerap menjadikannya pusat perhatian dunia, menegaskan posisinya sebagai elemen fundamental dalam sistem peradilan pidana Indonesia.